Novel yang
berjudul Rindu ini mengisahkan tentang perjalanan jamaah haji dengan kapal uap
bernama “BLITAR HOLLAND”. Kapal ini buatan Belanda. Novel ini mengambil latar
tempat di dermaga pelabuhan untuk sebagian kecil cerita dan sebagian besar
cerita berlatarkan di dalam kapal. Latar waktu yang dianut dalam novel ini
adalah pada saat masa-masa penjajahan belanda sedang terjadi di Indonesia lebih
tepatnya tahun 1938 saat perjuangan masih bersifat kedaerahan dan belum bersatu
padu, dan saat perang dunia ke-2 belum dimulai. Latar suasana yang diambil di
dalam novel rindu ini beragam sekali, ada suasana tegang, sedih, kecewa, lucu,
romantis dan masih banyak lagi.
Judul
Novel :
Rindu
Novelis :
Tere Liye
Jumlah
Halaman : ii, 544 Halaman
Cetakan
Pertama : Oktober 2014
Cetakan
Terkini : Ke-2 November 2014
Penerbit
:
Republika
Kota
Terbit : Jakarta
Lima
kisah Kehidupan yang dimaksud adalah kisah tentang lima orang yang berangkat
dengan kapal ini dengan pertanyaan besar di dalam hatinya, pertanyaan itu
mengandung makna yang dalam dan menjurus tentang kehidupan kelima orang yang
tidak sengaja disatukan dan dipertamukan oleh takdir di dalam kapal. Mengutip
dari bagian belakang cover novel Rindu “Ini adalah kisah tentang masa lalu yang
memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang harusnya disayangi. Tentang
kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah
dalam sebuah perjalanan panjang”.
Kutipan tersebut membuktikan bahwa dalam novel ini tere liye mengemas
lima pelajaran hidup yang sering kita jumpai dalam sebuah karya sastra,
menyampaikan amanah dengan gamblang dan mengena. Bahakan alur yang berbelok tak
terduga masih menjadi ciri khas Tere Liye dalam menyajikan karyanya.
Ketelitian Pengarang menyajikan karyanya
terbukti dengan runtutnya perjalan kereta dengan segala kondisi geografis
sosial dan ekonomi masa itu. Tere liye menggambarkan mulai dari keadaan kota
Makasar saat masa penjajahan, kota Surabaya, Kota Semarang, Kota Batavia (yang
sekarang disebut Jakarta), Kota Lampung, Kota Bengkulu, Padang, dan Aceh
sebagai Serambi Makkah, serta Kota colombo di Sri langka. Tak hanya kota dan
pelabuhannya yang ia gambarkan dengan detail yang indah, kapal Uap yang
berukuran setengah dari kapal “TITANIC” digambarkan setiap jengkal kapal dengan
teliti. Lautan yang menjadi arena kapal berselancar juga divisualisasikan
lengkap dengan gejala alamnya seperti badai, hujan lebat, migrasi burung, migrasi
paus, lumba-lumba, migrasi ikan terbang dan lain sebagainya. Terlihat nyata.
Kita
beranjak ke bagian yang menurut saya kurang di dalam novel ini, sebenarnya
cerita yang didsajikan sangan dinamis, akan tetapi keseharian di kapal yang
monotone dan selalu begitu-begitu saja setiap harinya membuat cerita juga
seolah monotone, hanya terdapan beberapa kejutan di bagian agak akhir. Saat
membahas pertanyaan dalam kisah hidup ke-3 dan selanjutanya, saat itulah cerita
ini menjadi lebih dinamis. Akan tetapi Tere Liye membayar lunas kekurangan itu
dengan menyajikan pengalaman hidup yang tak bisa dibayangkan indahnya.
Dari
kelima kisah kehidupan dan kelima pertanyaan yang disajikan dalam novel ini,
yang paling saya sukai adalah pertanyaan ke-4 tentang cinta sejati. Cerita ini
atau pertanyaan ini keluar dari salah seorang Kelasi (kru kapal yang membentu
kaptein dalam bidang tertentu) yang datang dari tanah pare-pare dan baru
direkrut oleh kapten. Kelasi ini menaiki kapal karena ingin pergi jauh
menhindari takdirnya karena cintanya ternyata telah dijodohkan oleh keluarga
mempelai. Ia ingin pergi walau saling mencintai satu sama lain, cinta yang
murni, cinta yang indah. Akhirnya setealah berlayar bertemu dengan berbagai
karakter seseorang kelasi ini menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dan
dijawab langsung oleh seorang ‘ulama besar yang dihormati semua penumpang
kapal. Gurruta Ahmad Karaeng. Dan di epilog dari kisah ini, ternyata Ahmad
Karaeng lah yang menjadi calon perjodohan dari keluarga sang putri. Sehingga dikisahkan
bahwa akhirnya Ambo Uleng (kelasi yang bertanya tentang cinta sejati) menikah
dan hidup bahagia dengan kekasihnya.
Tere
Liye sengaja mengajak pembaca membuat kesimpulan sendiri dengan karyanya. Itu
sudah menjadi ciri khas dalam kemasan novelnya. Novel ini layak sekali anda
baca. Saya merekomendasikan novel ini untuk menemani kisah hidup anda. Novel
ini cocok unutuk usia remaja hingga dewasa, selain kemasan yang menarik,
keaneka ragaman karakter dalam novel ini juga membuat lengkap warna yang dilukisnya
Tere Liye dalam kanvas sastranya.
Sebuah
Kutipan “ Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan pemahaman. Ketika
kita bicara, hanya puluhan atau ratusan orang yang mendengar. Kemudian hilang
ditelan waktu. Tapi tulisan, Buku-buku, bisa dibaca oleh lebih banyak lagi.
Satu buku bisa dipinjam dan dibaca berkali-kali oleh orang berbeda, apalagi
ribuan buku. Dan jangan lupakan buku bisa jadi Abadi. Terus diwariskan dicetak
kembali. Itu sangat efektif untuk membagikan pemahaman yang baik.”. dari kutipan
diatas, mengajak kita untuk lebih giat dan semangat dalam menuliskan karya
sastra.
0 comments:
Post a Comment