Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk
Ya Allah maafkan kami, karena kesibukan kami bahkan kami
tidak “sempat” menekur sujud merendahkan muka kami kepada-Mu, menunjukkan
betapa nistanya kami dihadapanmu, betapa
rendahnya kami dihadapanmu.
Kurang lebih begitulah majas ironi yang dilantunkan K.H.
Mustafa Bisri dalam puisinya yang berjudul “Keluhan”. Dengan wasilah puisinya, beliau membuka aib
kita tentang ketidakpatuhan dan ketidak tahudirian kita sebagai salah satu
makhluk ciptaan-Nya.
KELUHAN
Tuhan, kami sangat
sibuk.
Mengapa disebut keluhan ? mengapa tidak diberi judul alasan,
maaf, atau padanan kata lainnya ? Karena kita adalah makhluk yang pandai,
sangat pandai. Kita tidak hanya pandai memikirkan soal pelajaran disekolah
tetapi kita juga pandai sekali untuk mengeluh. Mustofa Bisri sebagai wasilah
Allah membukakan pintu hati pembaca betapa kufurnya kita.
Berapa kali kita mengucap alhamdulillah ketika bangun pagi ?
Berapa kali kita melantunkan
syukur saat do’a kita terkabul ?
Sekarang mari kita balik arah pertanyaannya.
Seberapa sering kita mengumpat
setiap kali hujan tiba ?
Seberapa sering kita mencela
masakan ibu kita ?
Seberapa sering kita mengeluhkan
ujian, tugas, dan permasalahan hidup kita ?
Atau mari kita mengganti
pertanyaan dengan ungkapan keseharian kita.
“Ah,
panas sekali hari ini.”
“Ya
Allah, kenapa do’aku belum juga terkabul ?”
“Ya
Allah, kenapa aku gagal dalam tes kemarin ?”
Tentu orang pertama yang terdiam tertunduk adalah penulis
sendiri. Kita mudah sekali menghitung segala kelemahan kita namun alangkah
bodohnya kita menghitung segala nikmat yang telah Dia berikan secara cuma-cuma.
“Untunglah Allah Maha Sabar”, begitulah logika kita berkata. Tetapi apakah kita
tidak sadar diri sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya ? Di hadapan guru dan
teman saja kita tau bagaimana menghormati mereka. Dihadapan Yang Menciptakan
guru dan teman kita ? bahkan menciptakan diri kita sendiri ?
KELUHAN
Tuhan, kami sangat
sibuk.
Hanya itulah yang disampaikan Mustafa Bisri dalam puisinya.
Cukup satu kalimat untuk membuka salah satu aib besar kita. Bahkan beliau tidak
menggunakan basa- basi dalam membuat puisinya. Mengapa tidak diberi pengantar
agar lebih indah ? Mengapa terlalu to the
point ? Jawabannya pastinya sangat bisa ditebak. Benar, karena kita sedang
sibuk, bisa jadi kata “sedang” bisa kita ganti menjadi “sangat”. Karena begitu
sangat sibuknya, hanya itu yang disampaikan kita kepada Tuhan. Tidak lebih,
tidak kurang. Begitu sibuknya kita sehingga kita melupakan Pencipta kita.
Saat lantunan adzan berbunyi, sadarkah kita bahwasanya Allah
tidak hanya menyuruh kita sholat namun kita juga dijanjikan kemenangan. “Hayya
‘alalfalah”, mari kita menuju kemenangan. Namun bagai seorang tuna rungu, sikap
kita malah tak acuh dan mengabaikannya. Kita terlalu asik dengan gurauan dan
candaan kita, bahkan kita malah mengejar dunia yang padahal kita sendiri tak
akan pernah menang. Semua itu karena, dunia adalah kesenangan yang menipu.
Begitu sibuknya kita sehingga kita tidak punya waktu untuk menemui
Rabb kita. Jangankan Jama’ah, bahkan munfarid pun masih kita tunda- tunda.
Jangankan tahajud dan dhuha, bahkan sholat lima waktu pun kami keberatan.
Begitulah ungkapan tersirat sebagian orang yang insya Allah bukanlah para pembaca. Karena apa ? kita terlalu sibuk
mengejar dunia. Padahal semua yang kita kejar tak akan berarti apa- apa. Dan cobalah melihat paragraf pertama dari
tulisan ini. Mengapa kata “sempat” harus diberi tanda petik ? Karena untuk
menghadap Rabb saja kita harus menyempatkan di sela-sela kesibukan yang tiada
guna, kita menggunakan waktu luang sedemikian sedikitnya yang menurut kita
kurang berharga untuk menyembah Tuhan kita. Astaghfirullah.
KELUHAN
Tuhan, kami sangat
sibuk.
Tentu, sudah menjadi realita bahwa kita telah terjerat oleh
perlombaan dunia. Dan tulisan ini murni menjadi pengingat bagi diri penulis.
Dimana hanya prospek gaji yang dikedepankan, Ketenaran yang dikejar, dan
jabatan yang diperebutkan. Seharusnya kita meneladani sahabat Rasulullah yakni
khalifah Ali RA yang berdo’a, “Ya Allah, letakkan dunia ditanganku dan letakkan
akhirat dihatiku.” Barang siapa mengejar dunia maka ia akan menghinakannya,
barang siapa mengejar akhirat maka dunia akan mengikutinya. Begitulah kata yang
kita anggap “pasaran” yang sudah berulang kali masuk ke otak kita. Tapi mengapa
hati kita tak juga tergugah ? Mungkin masing- masing dari kita perlu memborong
cermin besar, cermin itu bukanlah cermin kebanyakan, ialah cermin hati, tempat
dimana kita seharusnya meletakkan akhirat, bukan dunia.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir". (QS. Al- Ma'arij:
19-21)
Mustofa Bisri mengingatkan kita pada ayat tersebut,
bagaimana Allah menyindir tingkah laku kita yang notabene makhluk-Nya. Karya
Mustofa Bisri ini merupakan salah satu tafsir dari ayat tersebut. Namun, masih
ada kelanjutannya.
"Allah berfirman: kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat, yang mereka itu senantiasa mengerjakannya". (Al Ma'arij: 22-23)
"dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta)." (QS. Al Maarij: 24-25)
Betapa menyindirnya puisi milik Mustofa Bisri. Memang kita tidak ingin dicap
“kikir” dan “suka berkeluh kesah”, namun satu bait puisi beliau membuka
kenyataan. “Ya mau bagaimana lagi ? kami kan sibuk.” Tetapi, apakah kita akan
mengucapkan kata dan mengungkapkan rasa itu lagi ? hanya diri kita masing-
masing dan Tuhan yang tahu.
0 comments:
Post a Comment